Minggu, 29 Desember 2013

Chemistry


Seorang teman bicara cukup kasar ketika menyaksikan idolanya menikah dengan perempuan yang 'dari kacamatanya' kurang cantik. Menurutnya perempuan itu tidak pantas bersanding dengan sang idola.

Entah bagaimana meski telah memiliki dua buah hati bersama Putri Diana, Pangeran Charles tak bisa melupakan Camila. Camila yang lebih tua dari Diana dan di mata publik tak lebih cantik dan tak lebih baik dari Diana, nyatanya tetap menjadi dambaan Charles, terlepas pada akhirnya Charles dan Camila bercerai. Lihat saja pernikahan Charles dan Camila. Senyum senantiasa mengembang di wajah Charles yang tak lagi muda.

Kakak perempuanku bercerita tentang teman SMAnya, yang menurutnya tak begitu cantik. Kulit kurang cerah, hidung tidak mancung, dan tubuh agak berisi. Teman SMAnya tersebut bekerja pada sebuah perusahaan dimana mayoritas pegawainya adalah laki-laki. Karena minimnya kaum hawa di perusahan tersebut teman SMA kakakku itu begitu populer. Saking populer, dia diperebutkan oleh tiga pria sekaligus. Tentu saja si wanita memilih yang terbaik menurut versinya. Resepsi pernikahan pun digelar. Kakakku bercerita kalau temannya itu sempat minder, lantaran ibu mertuanya jauh lebih cantik dari mempelai wanita.



Mungkin dari kita pernah terheran-heran ketika menyaksikan wanita yang menurut kita sangat cantik menikah dengan pria yang menurut kita biasa saja, atau sebaliknya. Lalu kemudian kita sepakat bahwa kecantikan/ketampanan adalah penilaian yang subjektik (relatif bagi setiap orang). Dan alasan menikah pun menjadi beraneka macam. Lalu, untuk alasan seperti apa sebenarnya kita sebaiknya menikah?

Selama hidupku, aku telah bertemu banyak orang. Tak terhitung berapa jumlahnya. Ada yang sekadar bertemu, ada yang berinteraksi hanya beberapa menit, jam, hari, dan ada yang menghabiskan bertahun-tahun waktu bersama. Aku percaya bahwa di setiap pertemuan, selalu ada alasan. Bukankah semua kejadian di dunia ini sudah diatur oleh-Nya?

Aku telah menonton banyak film dan drama. Dari berbagai genre dan negara. Dari beragam kisah yang tersaji, selalu ada kisah cinta dengan porsi yang berbeda-beda. Meskipun berasal genre, negara, dan jalan cerita yang berbeda, film-film dan drama-drama tersebut memberikan makna cinta yang tak jauh berbeda. Bahwa cinta adalah sesuatu yang sakral dan agung.


Tak sulit bagi seseorang untuk jatuh cinta. Namun, setelah cinta itu berkurang perpisahan pun tak terelakan. Bahkan hal ini berlaku bagi mereka yang telah menikah. Lalu, dimanakah letak agungnya cinta itu? Begitupun seeorang hamba yang memeluk suatu agama, yang telah bersumpah bahwa ia mencintai Tuhannya pun tak luput dari penghianatan. Lalu, dimanakah letak agungnya cinta itu?

Diantara banyak film dan drama yang telah aku tonton, ada sebuah drama yang memberitahuku bahwa selain cinta kita tak boleh melupakan chemistry. Chemistry adalah ketika kita merasa 'klik' dengan seseorang, tak harus kekasih. Perasaan klik adalah misteri hati. Hanya orang yang merasakan yang tahu apakah kita merasa 'klik' atau tidak.

Karena itu, mungkin ketiga kisah di awal tulisan ini berkaitan dengan masalah chemistry. Bahwa kita tidak bisa memilih atau ditentukan oleh orang lain dengan siapa kita akan memiliki perasaan 'klik' bernama chemistry. Tentunya akan menjadi hal yang membahagiakan jika kita memilki perasaan ini dengan pasangan hidup kita. Karena bagaimana pun kita akan menghabiskan sisa umur kita dengannya. Meski begitu, aku percaya bahwa chemistry adalah sesuatu yang bisa kita bangun, asal ada niat tulus dari pelakonnya.

Rabu, 10 Juli 2013

Uje Membuat Saya Cemburu

Berita tentang wafatnya UJE memang sudah lama terdengar, tapi saya rasa gaungnya masih sampai sekarang. Saat berita tersebut pertama di kabarkan, saya menangis. Bukan karena saya adalah penggemar UJE, tapi karena saya sangat cemburu padanya. Ketika wafatnya UJE menggema di jagat maya, semua orang berkicau hal baik tentang dirinya. Doa-doa mengalir tak ada habisnya. Pada saat itu juga saya menangis dan bertanya pada diri sendiri, "jika kelak saya mati, hal mana yang lebih banyak orang sampaikan? Hal baik atau hal buruk?"
Pertanyaan ini merasuk dan seketika menjadi ketakutan tersendiri. MALU. Sangat malu jika pada akhirnya orang-orang justru mengatakan hal buruk pasca saya meninggal.
UJE dikenal sebagai ustad gaul yang mampu diterima setiap kalangan, terutama remaja. Bahkan, pemilik nama Jeffri al Bukhari ini dikagumi oleh kalangan non-Islam. Pada awal kemunculan beliau di layar kaca, sebenarnya saya kurang suka. Mungkin bertentangan dengan selera saya selama ini yang lebih menyukai ustad-ustad kalem, lembut, dan menyentuh semacam Qurai Shihab dan AA Gym. Namun, justru gaya khas UJE inilah yang unik dan lebih diterima oleh remaja khususnya. Dari pengamatan saya, mayoritas remaja justru kurang menyukai pendakwah yang kalem. Kemunculan UJE seolah oase bagi para remaja yang memang haus spiritual. Gaya UJE yang segar tanpa terkesan sok pintar lebih turut menambah alasan kenapa UJE disukai dan dikagumi anak-anak muda.

Karena Aku ya Diriku!


Namaku Efi Riana, tapi orang lebih suka memanggilku dengan ‘Teppy’. Sebuah panggilan sayang yang disematkan Ibu ini seolah menjadi identitas baru. Kadang aku berkelakar dengan teman yang memanggilku ‘Teppy’ bahwa Efi Riana iri karena Teppy lebih terkenal. Aku dilahirkan pada 27 Desember di Banyumas, sebuah kabupaten besar dengan 27 kecamatan yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Ayahku bernama Kiswanto, sedangkan Ibuku bernama Poniyem.

Meskipun kedua orangtuaku tidak menamatkan sekolah hingga SD, Alhamdulillah memiliki empat puteri yang dikenal berotak cukup encer oleh sebayanya. Ketiga saudara perempuanku berturut-turut adalah Soimah, Sulastri, dan Ani Kistiyani. Aku ada di posisi ketiga di antara Mbak Sulastri dan Ani. Kami berenam (sebelum kedua kakakku berkeluarga) menempati sebuah kediaman sederhana di Desa Tunjung No. 51 RT 03 / RW 01, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa Tengah, Kode Pos 53174. Setelah kedua kakakku menikah, kami tinggal berempat. Lalu setelah aku harus melanjutkan studi, anggota keluarga yang tinggal di rumah kembali berenam. Karena sejak kematian suami kakakku yang kedua, dia beserta kedua puteranya kembali tinggal di kediaman orang tua.

Sejak kecil aku suka bertualang. Aku suka mencoba menemukan jalanku sendiri. Mungkin karena kebiasan itulah, aku tumbuh menjadi seorang yang cukup berani dan selalu berusaha untuk bisa hidup mandiri. Dari Taman Kanak-Kanak hingga SMA kelas 10, aku selalu menjadi peringkat pertama di kelas. Setelah itu peringkatku berganti dari 3, 2, dan 1. Bukan karena aku malas belajar, tapi karena aku mulai mengalami disorientasi. Bukan lagi nilai yang ku kejar, tapi prestasi lain berupa penghargaan dan pengalaman hidup.

Aku cukup lama berkecimpung di dunia pramuka. Pertama kali terlibat saat SD kelas 3. Waktu itu aku mengikuti pesta siaga di kabupaten. Setelah itu berlanjut ke lomba pramuka penggalang, sampai saat SMP aku bersama tim menorehkan prestasi yang cukup luar biasa. Aku dan tim menjadi Juara I Pramuka Penggalang se-Banyumas dan Juara I Gelar Ketrampilan Pramuka se-Jateng.

Selain pramuka aku juga sangat menyukai Matematika. Sejak SD hingga SMA aku mengikuti berbagai lomba Matematika. Prestasi terbesarku aku menjadi Finalis Olimpiade Matematika se-Indonesia saat SMP. Orientasiku berubah saat masuk SMA. Aku masih menyukai Matematika dan tergabung di OSIS, tapi aku beralih dari pramuka ke Palang Merah Remaja (PMR), tepatnya menjadi wakil ketua. Sebenarnya saat SMP aku sudah bergabung di PMR, tapi pasif karena lebih fokus di pramuka dan OSIS. PMR ku pilih sebagai batu loncatan meraih cita-cita yang sempat ku genggam sejak kecil, menjadi seorang dokter. Hasilnya cukup membanggakan aku menjadi Peserta Konferensi Palang Merah Remaja I Propinsi Jawa Tengah. Lalu aku menjadi tim Penyusun/Kontributor Buku PMR dan Relawan di PMI Pusat dan aku menjadi Duta Forum Palang Merah Remaja Indonesia (Forpis) Kabupaten Banyumas dan Provinsi Jateng.

            Mimpiku menjadi dokter pupus bahkan mimpi untuk kuliah perlahan sempat ku padamkan. Selama SMA aku mendapat 2 beasiswa, sehingga tak banyak menyulitkan orang tua. Karena itu aku tak tega meminta dikuliahkan. Setelah bekerja selama hampir setahun di Bekasi, aku mendaftarkan diri di beberapa universitas. Geloraku menjadi dokter masih terasa, tapi pupus setelah mengetahui bahwa beasiswa yang ku lamar tak menyediakan jurusan kedokteran untuk universitas-universitas di daerah barat (Jakarta dan Jawa Barat). Berbekal kecintaan terhadap Matematika, aku mendaftar jurusan Statistika IPB.

Bidang non akademik yang ku jalani pun berubah, tak lagi pramuka ataupun PMR. Aku beralih ke bidang jurnalistik, sebagai reporter Koran Kampus IPB. Sebagai seorang reporter, aku berkeampatan untuk menghadiri beberapa acara dan orang-orang penting. Dan kini, aku menjabat sebagai Pimpinan Litbang. Aku juga sedang merintis CIDES Bogor dan menjadi Project Officer Rumah Kumbara. Aku juga tercatat sebagi anggota Forum lingkar Pena Bogor dan IPB Youth Journalist bidang film dokumenter. Aku sempat menjadi HRD dan Quality Product sebuah bimbingan belajar dan menjadi Ketua Divisi Pendidikan SDP Galuga, Beastudi Etos Bogor. Beberapa kepanitian Beastudi Etos Bogor ku jalani sebagai tanda terima kasih. Seringkali aku ditempatkan di divisi Desain, Dekorasi, dan Dokumentasi.

Meski menjadi dosen adalah cita-cita pilihan terakhir, aku menyukai diriku saat mengajar. Aku senang saat berbicara di depan banyak orang, memotivasi, berbagi pengalaman dan ilmu. Selain mengajar untuk bimbingan belajar, aku juga terdaftar sebagai asisten praktikum untuk dua mata kuliah yaitu Metode Penarikan Contoh dan Sosiologi Umum.

Selama kuliah, prestasi di bidang perlombaan/kejuaraan mungkin tak banyak yang bisa kuraih. Namun aku selalu bersyukur bisa meraihnya. Aku meraih Juara III Mahasiswa Prestasi Asrama TPB, Juara III Lomba Kerja Tulis Ilmiah se-Bogor, Juara I Lomba Debat Kandungan al Quran se-IPB, dan Juara III Lomba Baca Puisi SPIRIT FMIPA IPB. Selain itu, aku pernah dua kali diundang untuk tampil di sebuah acara: memotivasi dan membacakan sebuah puisi.

Aku suka mempelajari banyak hal. Aku suka membaca buku terutama buku inspiratif. Aku senang melibatkan diri di bidang politik (meski sangat tak suka politik), sejarah, dan misteri. Aku masih berambisi menjadi dokter dan sutradara. Aku suka mendengarkan musik sesuai mood. Aku suka berlari, meski hanya kulakukan seminggu sekali. Aku suka menonton film, bukan masalah siapa aktornya melainkan bagaimana suatu saat nanti aku bisa membuat film yang berkualitas. Aku sangat betah berlama-lama di depan Asusku. Bergumul dengannya membantuku menikmati hidup. Bagiku prestasi bukan hanya seberapa banyak piala, medali, atau sertifikat yang kita peroleh, melainkan seberapa besar manfaat dari keberadaan kita dapat dirasakan oleh orang lain. Aku, kau, dan dia pasti punya pandangan sendiri mengenai hidup dan prestasi. Inilah aku, diriku, kehidupanku, pemikiranku. Karena aku ya diriku!


Kamis, 09 Mei 2013

Negeri di Ujung Tanduk



Selama tiga hari ini tak bisa tidur. Selalu terbangun di tengah dinginnya malam Kota Hujan. Aku bangun sekitar jam 2. Menikmati momen qiyamu lail yang lebih baik kulakukan. Namun, alasan sebenarnya aku bangun adalah karena penasaran. Penasaran terhadap aksi Thomas di "Negeri di Ujung Tanduk"-buah karya satu-satunya Tere Liye yang sudah aku baca. Ya, novel "Negeri di Ujung Tanduk" berhasil mencuri perhatianku setelah sekian kalinya Tere Liye menghasilkan karya. Bukannya aku baru tahu tentang Tere Liye, justru aku sudah mendengar nama dan karyanya sejak tiga tahun yang lalu. Semua orang yang pernah membaca karyanya berdecak kagum dan selalu mempropaganda yang lain bahkan tanpa diminta. Novel-novel Tere liye beberapa diangkat ke layar lebar: Hafalan Shalat Delisa, Bidadari-bidadari Surga, dan yang sedang dalam proses adalah Moga Bunda di Sayang Allah. Betapa memang karya-karya Tere Liye adalah masterpiece, bukan? Sayang sampai film kedua difilmkan aku masih enggan membaca karyanya.

Meskipun aku tak pernah membaca karya-karya itu, aku tetap mengetahui jalan ceritanya. Bagaimana tidak, hampir setiap orang yang ku kenal membicarakannya. Sinopsis dan spoiler juga lengkap beredar di dunia maya. Semakin enggan  saja. Namun tidak untuk novel "Negeri di Ujung Tanduk". Meskipun aku sudah membaca sinopsisnya di beberapa sumber, aku tetap ingin membacanya. Aku jatuh cinta seketika dengan Tokoh Thomas dan berharap suatu saat novel ini juga akan di angkat ke layar lebar. Membayangkan Joe Taslim, Vino G. Bastian, Iko Uwais, Daniel Mananta atau pria sipit siapapun akan memerankan Thomas. Meskipun aku sedikit ragu tentang mungkin tidaknya novel ini akan diangkat ke layar lebar. Pasti butuh bujet yang lumayan untuk menunjang segala ledakan, properti, dan plot. Dari pada dibuat dengan seadanya, aku menyarankan kepada siapaun untuk segera mengurungkan niatnya. Kau hanya akan merusak estetika novel itu sendiri.

Kenapa aku bisa dengan mudah jatuh cinta dengan Thomas? Karena dia makhluk langka. Pria tampan, kaya, cerdas, dan sangat peduli dengan keluarga, pegawainya, temannya, kliennya, negaranya, bahkan musuhnya. Bagaimana mungkin? Yah, itulah Fiksi. Apapun mungkin, bergantung pemilik cerita. Ah, lebih baik kawan baca saja sendiri, daripada aku spoiler dan justru mengurangi minat kawan untuk membacanya. Kawan ketikan saja di Google "sinopsis Negeri di Ujung Tanduk". Aku jamin tak kurang dari 10 alamat akan memberitahu. Mengantarkan kawan pada Thomas. Namun, aku tetap menyarankan kawan untuk langsung mencari novelnya dan langsung membacanya. Atau mungkin dengan membaca sekuel pertamanya terlebih dulu: "Negeri Para Bedebah". Untuk novel "Negeri Para Bedebah" sendiri, aku baru berencana membacanya.

Membaca "Negeri di Ujung Tanduk" seakan membaca Indonesia. Kawan mungkin akan sakit hati, tapi mungkin juga akan semakin menyayangi negeri. Bahwa harapan selalu ada. Novel "Negeri di Ujung Tanduk" hanyalah fiksi. Mungkin saja semua salah, tapi mungkin juga Tere Liye terinspirasi dari kisah nyata. Berbeda dengan fiksi, kisah akhir Indonesia hanya Tuhan yang tahu. Tuhanlah pemilik skeneraio teragung.

Sabtu, 30 Maret 2013

Sukuisme Dalam Keluarga

"Sama orang Jawa saja ya, nduk!"

Saya hanya meringis, mendengarkan nasihat Ibu.

"Wah, gimana donk, Bu? Aku malah mau nikahnya sama bule."

"Weleh-weleh. Gak kasian apa kalo Ibu mau nengok cucu musti pergi jauh-jauh?"

Ibu semakin menjadi-jadi, beliau berbicara stereotip suku-suku di Indonesia, terutama non Jawa. Saya diam sesaat, mencermati penjelasan Ibu.

"Orang Sumatra tuh keras-keras. Batak apalagi. Kalau Padang, ntar kamu ditinggal pergi. Kamu tahu kan si Mawar, Melati, sama Kenanga (Nama disamarkan) yang nikah sama orang Sumatra. Suaminya pergi, gak balik lagi. Tahu-tahu udah nikah lagi di sananya."

"Inggih, Bu."

"Kalau sama Sunda, kamu musti tahan perasaan. Mereka tuh mulutnya manis. Banyak godaannya. Mereka juga biasanya manja, gak biasa kerja keras. Kurang bisa momong."

"Tapi orang Sunda sama Padang kan ganteng-ganteng, Bu. Sedep dipandang gitu."

"Yaelah, nduk. Ntar juga kalo udah tua ilang gantengnya."

"Kalau, Kalimantan gimana, Bu?"

"Aduh, jauh sekali. Masa mau nengok cucu mesti naik pesawat? Kamu tega sama Bapak sama Ibu. Bapak-Ibu udah gak muda lagi lho?"

Saya menghela napas, mulai memikirkan omongan Ibu. Apa jadinya bila saya tanya pendapat Ibu mengenai orang Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, atatu bahkan Papua. Pasti langsung TIDAK.

"Pokoknya musti orang Jawa!"

Ibu berlalu dengan closing statement yang begitu status quo bagi Saya.

Ibu tentu punya alasan membatasi calon pasangan anak-anaknya. Tapi, benarkah stereotip yang Ibu yakini?


Apa itu stereotip?

Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.

Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis, Turner, & Gagnon, 1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. Misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang.

Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip (Brisslin,1993). Misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. Stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson & Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat cara,:

  1. Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
  2. Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. ndividu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal sama.
  3. Stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman.
  4. Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. Apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.

Matsumoto (1996) menunjukkan bahwa kita dapat belajar untuk mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci mengenai stereotip, yaitu:

  1. Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
  2. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
  3. Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut. 


Saya pertama kali mengenal kata stereotip sewaktu belajar Dasar-dasar Komunikasi dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Dari mata kuliah ini pula saya bertemu dengan seorang dosen (keturunan Belanda) yang akhirnya berani menikahi perempuan Padang. Saya sependapat dengan beliau. Bagaimana pun kita tidak boleh men-generalisasikan sebuah suku. Mungkin stereotip-stereotip di atas berkembang berdasarkan pengalaman. Misalnya kisah si Mawar yang bersuami orang Sumatra dan ditinggal pergi. Namun, bukan berarti semua orang Sumatra akan bersikap seperti itu.

Menurut sensus yang dilakukan oleh BPS, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa. Informasi yang saya dapat dari Wikipedia, Suku Jawa adalah populasi terbesar di Indonesia. Jumlahnya mencapai 41,7 % dari total penduduk Indonesia yang disensus. Suku Jawa yang dimaksud meliputi 3 kawasan utama, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. Meskipun jumlahnya besar, hampir setengah penduduk Indonesia, tetap saja yang diinginkan oleh Ibu saya adalah suku Jawa di Jawa Tengah. Menanggapi hal ini, saya mengiyakan. Meskipun demikian, saya tetap menyerahkan semuanya pada Allah SWT.




referensi:
http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/mendefinisikan-prasangka.html
http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html

Kamis, 21 Maret 2013

Berlarilah Sekuat Kau Mampu


Saya akan berbagi salah satu rutinitas saya. Sebagai penerima Beastudi Etos saya berhak dan wajib mengikuti seluruh pembinaan yang sudah disusun oleh para pendamping (semacam supervisor). Pembinaan-pembinaan tersebut disesuaikan dengan kurikulum dan visi misi Beastudi Etos. Salah satu bentuk pembinaanya adalah olahraga yang diimplementasikan dengan lari mengelilingi lapangan Gymnasium sebanyak lima kali untuk ikhwan (putera) dan tiga kali untuk akhwat (puteri). Pembinaan ini dilakukan setiap Minggu pagi. Sesekali dimajukan ke Sabtu pagi jika hari Minggu tidak memungkinkan. Tentu ada konsekuensi Etos counter jika tidak melaksanakannya.

Awalnya, saya malas melakukannya. Hal ini lebih karena saya sudah lama tidak melakukannya. Seiring berjalannya waktu, saya mulai menikmati pembinaan ini. Saya mulai menikmati saat saya sedang berlari.
Berlari memutar lapangan gymnasium seperti miniatur perjalanan hidup.

Untuk saat ini, saya hanya menargetkan waktu. Mungkin suatu saat akan saya tambah jumlah putarannya. Saya berusaha lari secepat mungkin. Meskipun begitu, saya yakin waktu yang saya perlukan tidak mungkin nol. Sama halnya dengan target-target yang sudah memenuhi dinding kamar saya. Tidak mungkin saya dapat meraih mereka jika saya tidak melakukan apapun, kecuali Allah lah yang menghendeki hal itu.

Setiap lari, saya selalu punya target. Saya harus berlari terus tanpa henti pada putaran pertama. Saat malas dan lelah menggoda, saya berteriak dalam hati, "JIKA SAYA MENYERAH HANYA PADA INI, BAGAIMANAN MUNGKIN SAYA BISA MENGHADAPI HAL YANG LEBIH BESAR?"

Kenapa putaran pertama?

Karena menurut saya, sebuah target harus memiliki persiapan yang matang. Awalan saya nilai cukup penting. Semacam batu loncatan untuk putaran berikutnya. Dan menurut saya, sebuah target akan lebih mudah mencapainya jika terget yang besar itu dipecah menjadi target-target yang lebih kecil. Saya percaya sebuah cita-cita yang besar dimulai sejak kita mulai memikirkannya. Dan pencapaian cita-cita yang besar itu dapat dicicil dari penyusunnya yang lebih kecil.

Misalkan saya menargetkan lolos SNMPTN Departemen Statistika, FMIPA IPB. Untuk mencapainya saya harus lebih dulu mencapai target belajar saya. Berapa buku yang harus saya baca, berapa soal yang harus saya kerjakan, dan sebagainya.

Kembali pada saat saya lari. Pada seperempat putaran terakhir, saya hanya fokus pada garis finish. Saya tak ingin mendengar mulut saya mengatakan keluhan. Lalu saya kembali berteriak dalam hati, "FOKUS PADA TARGET! TARGETKU SUDAH JELAS, AKU HANYA PERLU UNTUK MENCAPAINYA!"
Hal ini terbukti efektif, seketika energiku bertambah, tubuhku terasa ringan, dan tak lagi mendengar pikiran malas dan lelah.

Ada sebuah kisah yang saya baca dari sebuah buku, tapi saya lupa judul dan pengarangnya.
Suatu hari ada sebuah rombongan yang tersesat dalam sebuah gua. Setelah lama berjalan, rombongan tersebut tak juga menemukan jalan pulang. Rombongan tersebut merasa lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Di tengah kelelahan, salah satu dari rombongan melihat ada secercah cahaya masuk ke dalam gua. Mereka sangat senang dan yakin itu adalah pintu keluar. Meskipun demikian cahaya tersebut sangat kecil, yang berarti jarak mereka ke sumber cahaya tersebut cukup jauh. Mereka tak mungkin menyerah, apalagi setelah mereka menemukan jalan keluar. Meskipun mereka telah menemukan jalan keluar, mereka tetap harus berjalan untuk mencapainya.

Saya percaya bahwa tidak ada hasil yang instan (kecuali kehendak Allah). Mie instan saja harus melalui beberapa proses untuk bisa disantap. Karena itu, saya mencoba berlari sekuat yang saya mampu.

Semangat pagi, Kawan!

Sabtu, 05 Januari 2013

Ketika 'Saya' Harus Selalu Benar

Opini ini saya tulis untuk Koran Kampus IPB. Berawal dari kemirisan saya ketika terpaksa menyimak perdebatan di beberapa media sosial yang saya gunakan. Kebanyakan pendebat yang notabenenya kaum intelektual justru tak segan menggunakan kata-kata kasar dan saling cela. Beberapa bersembunyi dibalik nama Anonim sebagai bentuk mengecundangi diri sendiri.



Ketika sebuah isu dilempar ke publik, biasanya akan mendatangkan respon. Apalagi jika isu yang dilempar menyangkut kepentingan orang banyak, menyentil kalangan tertentu, atau bahkan menyudutkan pihak tertentu. Respon akan berkembang ke dalam suatu perdebatan. Jelas akan ada pihak yang pro dan kontra. Kedua belah pihak saling beradu argumen agar tidak dianggap salah. Pihak yang diam justru dianggap kalah dan salah, sedangkan pihak yang tak berhenti berkoar merasa memenangkan perdebatan dan menganggap pihaknya paling benar.


Saya menulis ini tentu bukan berarti bahwa saya adalah makhluk paling benar di sini. Karena kebenaran mutlak milik Sang Pencipta. Jika kebenaran hanya milik Sang Pencipta, lalu kebenaran seperti apa yang dimiliki oleh manusia?

Tidak ada manusia yang sama. Bahkan sepasang kembar identik dari ibu yang sama memiliki otak yang berbeda. Dari otak yang berbeda inilah kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda pula. Jadi sangat wajar jika terjadi perbedaan pendapat dalam menanggapi sebuah isu.

Manusia memiliki esensi kebenaran masing-masing. Dalam sebuah perdebatan, manusia cenderung mempertahankan kebenaran yang dianutnya dengan seluruh argumen yang ada. Kegigihan inilah yang terkadang membutakan nurani manusia itu sendiri dan merasa bahwa mereka selalu benar dibanding dengan orang lain.
Kebenaran haruslah fakta. Harus ada bukti sebagai pembenarnya. Namun apa yang terjadi jika bukti terlalu sulit dirangkai? Disini kebenaran menjadi mahal dan kadang tabu. Pada akhirnya sesuatu yang dianggap benar adalah jika pendapat tersebut diakui dan diyakini oleh sekelompok orang bahwa hal itu benar, bukan individu.
Nah, bagaimana jika ada manusia yang merasa benar dan ternyata banyak ditentang oleh manusia lain tanpa ada yang mendukungnya? Bagi saya itu adalah kesalahan mutlak. Berbeda halnya jika pendapat itu ditentang dan penentangnya memiliki pendukung. Berarti harus ada yang dikoreksi di sini. Kemungkinan ada kesalahan di kedua belah pihak. Tentu akan sulit menemukan titik terang jika masing-masing pihak masih bersikukuh dengan esensi kebenaran masing-masing.
Saling menyampaikan esensi kebenaran masing-masing dan menyadari bahwa manusia memiliki peluang salah agaknya harus lekas ditanamkan. Bagaimanapun manusia cenderung mendambakan kehidupan yang tenteram dan damai.

Sebagai tambahan yang tidak saya sertakan di Koran Kampus IPB adalah sebuah Ajaran Syekh Imam al Ghazali, tentang 4 tipe manusia di bumi: (1) Orang yang tahu bahwa dirinya tahu. Tipe orang ini menjadi bermanfaat secara optimal bagi masyarakat dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya. (2) Orang yang tak tahu bahwa dirinya tahu. Tipe orang ini kurang percaya diri, sehingga kendati berkualitas tinggi, tapi tak termanfaatkan secara tuntas bagi kemanfaatan masyarakatnya. (3) Orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Tipe orang ini mau belajar dan mampu mendengar pendapat dan nasihat orang sekitar. (4) Orang yang tak tahu bahwa dirinya tak tahu. Tipe ini merasa sok tahu, meskipun bodoh. Orang ini ibarat sawo dimakan uler: wong bodo tetapi merasa pinter. Merasa diri paling hebat, merasa diri paling benar, paling pintar, paling tahu dalam banyak hal bahkan segala hal.

Semoga kita termasuk tipe manusia pertama.