Sabtu, 05 Januari 2013

Ketika 'Saya' Harus Selalu Benar

Opini ini saya tulis untuk Koran Kampus IPB. Berawal dari kemirisan saya ketika terpaksa menyimak perdebatan di beberapa media sosial yang saya gunakan. Kebanyakan pendebat yang notabenenya kaum intelektual justru tak segan menggunakan kata-kata kasar dan saling cela. Beberapa bersembunyi dibalik nama Anonim sebagai bentuk mengecundangi diri sendiri.



Ketika sebuah isu dilempar ke publik, biasanya akan mendatangkan respon. Apalagi jika isu yang dilempar menyangkut kepentingan orang banyak, menyentil kalangan tertentu, atau bahkan menyudutkan pihak tertentu. Respon akan berkembang ke dalam suatu perdebatan. Jelas akan ada pihak yang pro dan kontra. Kedua belah pihak saling beradu argumen agar tidak dianggap salah. Pihak yang diam justru dianggap kalah dan salah, sedangkan pihak yang tak berhenti berkoar merasa memenangkan perdebatan dan menganggap pihaknya paling benar.


Saya menulis ini tentu bukan berarti bahwa saya adalah makhluk paling benar di sini. Karena kebenaran mutlak milik Sang Pencipta. Jika kebenaran hanya milik Sang Pencipta, lalu kebenaran seperti apa yang dimiliki oleh manusia?

Tidak ada manusia yang sama. Bahkan sepasang kembar identik dari ibu yang sama memiliki otak yang berbeda. Dari otak yang berbeda inilah kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbeda pula. Jadi sangat wajar jika terjadi perbedaan pendapat dalam menanggapi sebuah isu.

Manusia memiliki esensi kebenaran masing-masing. Dalam sebuah perdebatan, manusia cenderung mempertahankan kebenaran yang dianutnya dengan seluruh argumen yang ada. Kegigihan inilah yang terkadang membutakan nurani manusia itu sendiri dan merasa bahwa mereka selalu benar dibanding dengan orang lain.
Kebenaran haruslah fakta. Harus ada bukti sebagai pembenarnya. Namun apa yang terjadi jika bukti terlalu sulit dirangkai? Disini kebenaran menjadi mahal dan kadang tabu. Pada akhirnya sesuatu yang dianggap benar adalah jika pendapat tersebut diakui dan diyakini oleh sekelompok orang bahwa hal itu benar, bukan individu.
Nah, bagaimana jika ada manusia yang merasa benar dan ternyata banyak ditentang oleh manusia lain tanpa ada yang mendukungnya? Bagi saya itu adalah kesalahan mutlak. Berbeda halnya jika pendapat itu ditentang dan penentangnya memiliki pendukung. Berarti harus ada yang dikoreksi di sini. Kemungkinan ada kesalahan di kedua belah pihak. Tentu akan sulit menemukan titik terang jika masing-masing pihak masih bersikukuh dengan esensi kebenaran masing-masing.
Saling menyampaikan esensi kebenaran masing-masing dan menyadari bahwa manusia memiliki peluang salah agaknya harus lekas ditanamkan. Bagaimanapun manusia cenderung mendambakan kehidupan yang tenteram dan damai.

Sebagai tambahan yang tidak saya sertakan di Koran Kampus IPB adalah sebuah Ajaran Syekh Imam al Ghazali, tentang 4 tipe manusia di bumi: (1) Orang yang tahu bahwa dirinya tahu. Tipe orang ini menjadi bermanfaat secara optimal bagi masyarakat dalam mengamalkan ilmu pengetahuannya. (2) Orang yang tak tahu bahwa dirinya tahu. Tipe orang ini kurang percaya diri, sehingga kendati berkualitas tinggi, tapi tak termanfaatkan secara tuntas bagi kemanfaatan masyarakatnya. (3) Orang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Tipe orang ini mau belajar dan mampu mendengar pendapat dan nasihat orang sekitar. (4) Orang yang tak tahu bahwa dirinya tak tahu. Tipe ini merasa sok tahu, meskipun bodoh. Orang ini ibarat sawo dimakan uler: wong bodo tetapi merasa pinter. Merasa diri paling hebat, merasa diri paling benar, paling pintar, paling tahu dalam banyak hal bahkan segala hal.

Semoga kita termasuk tipe manusia pertama.