Kamis, 09 Mei 2013

Negeri di Ujung Tanduk



Selama tiga hari ini tak bisa tidur. Selalu terbangun di tengah dinginnya malam Kota Hujan. Aku bangun sekitar jam 2. Menikmati momen qiyamu lail yang lebih baik kulakukan. Namun, alasan sebenarnya aku bangun adalah karena penasaran. Penasaran terhadap aksi Thomas di "Negeri di Ujung Tanduk"-buah karya satu-satunya Tere Liye yang sudah aku baca. Ya, novel "Negeri di Ujung Tanduk" berhasil mencuri perhatianku setelah sekian kalinya Tere Liye menghasilkan karya. Bukannya aku baru tahu tentang Tere Liye, justru aku sudah mendengar nama dan karyanya sejak tiga tahun yang lalu. Semua orang yang pernah membaca karyanya berdecak kagum dan selalu mempropaganda yang lain bahkan tanpa diminta. Novel-novel Tere liye beberapa diangkat ke layar lebar: Hafalan Shalat Delisa, Bidadari-bidadari Surga, dan yang sedang dalam proses adalah Moga Bunda di Sayang Allah. Betapa memang karya-karya Tere Liye adalah masterpiece, bukan? Sayang sampai film kedua difilmkan aku masih enggan membaca karyanya.

Meskipun aku tak pernah membaca karya-karya itu, aku tetap mengetahui jalan ceritanya. Bagaimana tidak, hampir setiap orang yang ku kenal membicarakannya. Sinopsis dan spoiler juga lengkap beredar di dunia maya. Semakin enggan  saja. Namun tidak untuk novel "Negeri di Ujung Tanduk". Meskipun aku sudah membaca sinopsisnya di beberapa sumber, aku tetap ingin membacanya. Aku jatuh cinta seketika dengan Tokoh Thomas dan berharap suatu saat novel ini juga akan di angkat ke layar lebar. Membayangkan Joe Taslim, Vino G. Bastian, Iko Uwais, Daniel Mananta atau pria sipit siapapun akan memerankan Thomas. Meskipun aku sedikit ragu tentang mungkin tidaknya novel ini akan diangkat ke layar lebar. Pasti butuh bujet yang lumayan untuk menunjang segala ledakan, properti, dan plot. Dari pada dibuat dengan seadanya, aku menyarankan kepada siapaun untuk segera mengurungkan niatnya. Kau hanya akan merusak estetika novel itu sendiri.

Kenapa aku bisa dengan mudah jatuh cinta dengan Thomas? Karena dia makhluk langka. Pria tampan, kaya, cerdas, dan sangat peduli dengan keluarga, pegawainya, temannya, kliennya, negaranya, bahkan musuhnya. Bagaimana mungkin? Yah, itulah Fiksi. Apapun mungkin, bergantung pemilik cerita. Ah, lebih baik kawan baca saja sendiri, daripada aku spoiler dan justru mengurangi minat kawan untuk membacanya. Kawan ketikan saja di Google "sinopsis Negeri di Ujung Tanduk". Aku jamin tak kurang dari 10 alamat akan memberitahu. Mengantarkan kawan pada Thomas. Namun, aku tetap menyarankan kawan untuk langsung mencari novelnya dan langsung membacanya. Atau mungkin dengan membaca sekuel pertamanya terlebih dulu: "Negeri Para Bedebah". Untuk novel "Negeri Para Bedebah" sendiri, aku baru berencana membacanya.

Membaca "Negeri di Ujung Tanduk" seakan membaca Indonesia. Kawan mungkin akan sakit hati, tapi mungkin juga akan semakin menyayangi negeri. Bahwa harapan selalu ada. Novel "Negeri di Ujung Tanduk" hanyalah fiksi. Mungkin saja semua salah, tapi mungkin juga Tere Liye terinspirasi dari kisah nyata. Berbeda dengan fiksi, kisah akhir Indonesia hanya Tuhan yang tahu. Tuhanlah pemilik skeneraio teragung.