Sabtu, 30 Maret 2013

Sukuisme Dalam Keluarga

"Sama orang Jawa saja ya, nduk!"

Saya hanya meringis, mendengarkan nasihat Ibu.

"Wah, gimana donk, Bu? Aku malah mau nikahnya sama bule."

"Weleh-weleh. Gak kasian apa kalo Ibu mau nengok cucu musti pergi jauh-jauh?"

Ibu semakin menjadi-jadi, beliau berbicara stereotip suku-suku di Indonesia, terutama non Jawa. Saya diam sesaat, mencermati penjelasan Ibu.

"Orang Sumatra tuh keras-keras. Batak apalagi. Kalau Padang, ntar kamu ditinggal pergi. Kamu tahu kan si Mawar, Melati, sama Kenanga (Nama disamarkan) yang nikah sama orang Sumatra. Suaminya pergi, gak balik lagi. Tahu-tahu udah nikah lagi di sananya."

"Inggih, Bu."

"Kalau sama Sunda, kamu musti tahan perasaan. Mereka tuh mulutnya manis. Banyak godaannya. Mereka juga biasanya manja, gak biasa kerja keras. Kurang bisa momong."

"Tapi orang Sunda sama Padang kan ganteng-ganteng, Bu. Sedep dipandang gitu."

"Yaelah, nduk. Ntar juga kalo udah tua ilang gantengnya."

"Kalau, Kalimantan gimana, Bu?"

"Aduh, jauh sekali. Masa mau nengok cucu mesti naik pesawat? Kamu tega sama Bapak sama Ibu. Bapak-Ibu udah gak muda lagi lho?"

Saya menghela napas, mulai memikirkan omongan Ibu. Apa jadinya bila saya tanya pendapat Ibu mengenai orang Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara, atatu bahkan Papua. Pasti langsung TIDAK.

"Pokoknya musti orang Jawa!"

Ibu berlalu dengan closing statement yang begitu status quo bagi Saya.

Ibu tentu punya alasan membatasi calon pasangan anak-anaknya. Tapi, benarkah stereotip yang Ibu yakini?


Apa itu stereotip?

Stereotip adalah kombinasi dari ciri-ciri yang paling sering diterapkan oleh suatu kelompok tehadap kelompok lain, atau oleh seseorang kepada orang lain (Soekanto, 1993). Secara lebih tegas Matsumoto (1996) mendefinisikan stereotip sebagai generalisasi kesan yang kita miliki mengenai seseorang terutama karakter psikologis atau sifat kepribadian. Beberapa contoh stereotip terkenal berkenaan dengan asal etnik adalah stereotip yang melekat pada etnis jawa, seperti lamban dan penurut. Stereotip etnis Batak adalah keras kepala dan maunya menang sendiri. Stereotip orang Minang adalah pintar berdagang. Stereotip etnis Cina adalah pelit dan pekerja keras.

Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar kelompok, mendefinisikan kelompok dalam kontras dengan yang lain, membentuk imej kelompok lain (dan kelompok sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan akan datang di dalam hubungan itu (Bourhis, Turner, & Gagnon, 1997). Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap kelompok lain. Misalnya etnis jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis jawa kepada kita. Sebagai sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang tidak. Misalnya stereotip etnis jawa yang tidak suka berterus terang memiliki kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis jawa memang kurang suka berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena banyak juga etnis jawa yang suka berterus terang.

Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip (Brisslin,1993). Misalnya saja stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang, meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. Stereotip juga dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media massa. Menurut Johnson & Johnson (2000), stereotip dilestarikan dan di kukuhkan dalam empat cara,:

  1. Stereotip mempengaruhi apa yang kita rasakan dan kita ingat berkenaan dengan tindakan orang-orang dari kelompok lain.
  2. Stereotip membentuk penyederhanaan gambaran secara berlebihan pada anggota kelompok lain. ndividu cenderung untuk begitu saja menyamakan perilaku individu-individu kelompok lain sebagi tipikal sama.
  3. Stereotip dapat menimbulkan pengkambinghitaman.
  4. Stereotip kadangkala memang memiliki derajat kebenaran yang cukup tinggi, namun sering tidak berdasar sama sekali. Mendasarkan pada stereotip bisa menyesatkan. Lagi pula stereotip biasanya muncul pada orang-orang yang tidak mengenal sungguh-sungguh etnik lain. Apabila kita menjadi akrab dengan etnis bersangkutan maka stereotip tehadap etnik itu biasanya akan menghilang.

Matsumoto (1996) menunjukkan bahwa kita dapat belajar untuk mengurangi stereotip yang kita miliki dengan mengakui tiga poin kunci mengenai stereotip, yaitu:

  1. Stereotip didasarkan pada penafsiran yang kita hasilkan atas dasar cara pandang dan latar belakang budaya kita. Stereotip juga dihasilkan dari komunikasi kita dengan pihak-pihak lain, bukan dari sumbernya langsung. Karenanya interpretasi kita mungkin salah, didasarkan atas fakta yang keliru atau tanpa dasar fakta.
  2. Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi. Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun. Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan mengabaikan ciri yang lain.
  3. Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok tersebut. 


Saya pertama kali mengenal kata stereotip sewaktu belajar Dasar-dasar Komunikasi dari Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Dari mata kuliah ini pula saya bertemu dengan seorang dosen (keturunan Belanda) yang akhirnya berani menikahi perempuan Padang. Saya sependapat dengan beliau. Bagaimana pun kita tidak boleh men-generalisasikan sebuah suku. Mungkin stereotip-stereotip di atas berkembang berdasarkan pengalaman. Misalnya kisah si Mawar yang bersuami orang Sumatra dan ditinggal pergi. Namun, bukan berarti semua orang Sumatra akan bersikap seperti itu.

Menurut sensus yang dilakukan oleh BPS, Indonesia memiliki 1.340 suku bangsa. Informasi yang saya dapat dari Wikipedia, Suku Jawa adalah populasi terbesar di Indonesia. Jumlahnya mencapai 41,7 % dari total penduduk Indonesia yang disensus. Suku Jawa yang dimaksud meliputi 3 kawasan utama, yaitu Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Lampung. Meskipun jumlahnya besar, hampir setengah penduduk Indonesia, tetap saja yang diinginkan oleh Ibu saya adalah suku Jawa di Jawa Tengah. Menanggapi hal ini, saya mengiyakan. Meskipun demikian, saya tetap menyerahkan semuanya pada Allah SWT.




referensi:
http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/mendefinisikan-prasangka.html
http://sp2010.bps.go.id/files/ebook/kewarganegaraan%20penduduk%20indonesia/index.html

Kamis, 21 Maret 2013

Berlarilah Sekuat Kau Mampu


Saya akan berbagi salah satu rutinitas saya. Sebagai penerima Beastudi Etos saya berhak dan wajib mengikuti seluruh pembinaan yang sudah disusun oleh para pendamping (semacam supervisor). Pembinaan-pembinaan tersebut disesuaikan dengan kurikulum dan visi misi Beastudi Etos. Salah satu bentuk pembinaanya adalah olahraga yang diimplementasikan dengan lari mengelilingi lapangan Gymnasium sebanyak lima kali untuk ikhwan (putera) dan tiga kali untuk akhwat (puteri). Pembinaan ini dilakukan setiap Minggu pagi. Sesekali dimajukan ke Sabtu pagi jika hari Minggu tidak memungkinkan. Tentu ada konsekuensi Etos counter jika tidak melaksanakannya.

Awalnya, saya malas melakukannya. Hal ini lebih karena saya sudah lama tidak melakukannya. Seiring berjalannya waktu, saya mulai menikmati pembinaan ini. Saya mulai menikmati saat saya sedang berlari.
Berlari memutar lapangan gymnasium seperti miniatur perjalanan hidup.

Untuk saat ini, saya hanya menargetkan waktu. Mungkin suatu saat akan saya tambah jumlah putarannya. Saya berusaha lari secepat mungkin. Meskipun begitu, saya yakin waktu yang saya perlukan tidak mungkin nol. Sama halnya dengan target-target yang sudah memenuhi dinding kamar saya. Tidak mungkin saya dapat meraih mereka jika saya tidak melakukan apapun, kecuali Allah lah yang menghendeki hal itu.

Setiap lari, saya selalu punya target. Saya harus berlari terus tanpa henti pada putaran pertama. Saat malas dan lelah menggoda, saya berteriak dalam hati, "JIKA SAYA MENYERAH HANYA PADA INI, BAGAIMANAN MUNGKIN SAYA BISA MENGHADAPI HAL YANG LEBIH BESAR?"

Kenapa putaran pertama?

Karena menurut saya, sebuah target harus memiliki persiapan yang matang. Awalan saya nilai cukup penting. Semacam batu loncatan untuk putaran berikutnya. Dan menurut saya, sebuah target akan lebih mudah mencapainya jika terget yang besar itu dipecah menjadi target-target yang lebih kecil. Saya percaya sebuah cita-cita yang besar dimulai sejak kita mulai memikirkannya. Dan pencapaian cita-cita yang besar itu dapat dicicil dari penyusunnya yang lebih kecil.

Misalkan saya menargetkan lolos SNMPTN Departemen Statistika, FMIPA IPB. Untuk mencapainya saya harus lebih dulu mencapai target belajar saya. Berapa buku yang harus saya baca, berapa soal yang harus saya kerjakan, dan sebagainya.

Kembali pada saat saya lari. Pada seperempat putaran terakhir, saya hanya fokus pada garis finish. Saya tak ingin mendengar mulut saya mengatakan keluhan. Lalu saya kembali berteriak dalam hati, "FOKUS PADA TARGET! TARGETKU SUDAH JELAS, AKU HANYA PERLU UNTUK MENCAPAINYA!"
Hal ini terbukti efektif, seketika energiku bertambah, tubuhku terasa ringan, dan tak lagi mendengar pikiran malas dan lelah.

Ada sebuah kisah yang saya baca dari sebuah buku, tapi saya lupa judul dan pengarangnya.
Suatu hari ada sebuah rombongan yang tersesat dalam sebuah gua. Setelah lama berjalan, rombongan tersebut tak juga menemukan jalan pulang. Rombongan tersebut merasa lelah dan memutuskan untuk beristirahat. Di tengah kelelahan, salah satu dari rombongan melihat ada secercah cahaya masuk ke dalam gua. Mereka sangat senang dan yakin itu adalah pintu keluar. Meskipun demikian cahaya tersebut sangat kecil, yang berarti jarak mereka ke sumber cahaya tersebut cukup jauh. Mereka tak mungkin menyerah, apalagi setelah mereka menemukan jalan keluar. Meskipun mereka telah menemukan jalan keluar, mereka tetap harus berjalan untuk mencapainya.

Saya percaya bahwa tidak ada hasil yang instan (kecuali kehendak Allah). Mie instan saja harus melalui beberapa proses untuk bisa disantap. Karena itu, saya mencoba berlari sekuat yang saya mampu.

Semangat pagi, Kawan!